Wilayah Depok, ternyata terdiri diri
dari tanah partikelir dan tanah pardikan. Tanah Partikelir, milik Cornelis
Chastelein, tanah yang tidak
ada kaitan dengan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Tanah pardikan, yang dimilliki Sersan Majoor St. Martin, Land Tjinere, yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda atas prestasinya menumpas pemberontakan Kapitien Joker, di Batam.
SUHARTO, SE., MM.
PARTAI SOLIDARITAS INDONESIA (PSI)
CALEG DPRD KOTA DEPOK, DAPIL 2 (BEJI, CINERE, LIMO)
|
Ceritanya bermula pada abad 18, pada
tahun 1674, seorang pemuda bernama Cornelis Chastelein, merantau ke Hindia
Belanda. Di Hindia Belanda, Batavia, Cornelis bekerja sebagai Boekhouder bij de kamer van zeventien
(pemegang buku) di kantor Dewan Pengurus Vereenigde Oost Indische Compagnie
(VOC).
Pada tahun 1682, Cornelis Chastelein
menikahi wanita cantik Belanda bernama Chatarina vaan Quaalberg. Karirnya semakin
moncer, pangkatnya naik terus, dia menjadi orang kaya raya. Cornelis memiliki Putra bernama Anthony Chastelein. Entah mengapa, ditengah
perjalanan, tahun 1692, Cornelis mengundurkan diri dari VOC, karena berselisih
paham dengan Gubernur jenderal Hindia Belanda, Willem van Outhorn.
Setelah tidak bekerja di VOC, dia
mulai berwiraswasta. Empat tahun setelah itu, 1696, Cornelis membeli lima
persil tanah seluas 1.244 ha di Land Depok dari seorang tuan tanah Tio Tiong Ko (Tionghoa).
Persil itu berada di desa Pitara, Kampung Sengon, Kampung Parung Blimbing. Persil
yang dimiliki Cornelis ini menambah persil yang berada di Lenteng Agung, Pasar
Minggu, hingga Gambir.
Dengan persil yang dibeli, Cornelis
mengusahakan pertanian, peternakan, dan perkebunan. Bermodal persil yang luas,
Cornelis mendatangkan banyak Budak (tenaga kerja) yang dibeli dari raja-raja dari
Bali, Sulawesi Selatan, Timor, Nusa Tenggara Timur dan wilayah lain di Hindia
Belanda.
Dalam perjalanannya, Cornelis
berhasil membangun kerajaan bisnisnya. Pertanian dan perkebunan, serta peternakannya membuahkan hasil. Karet dan hasil perkebunan lainnya diekspor ke ngeri Belanda. Cornelis kerap memanggil budaknya dengan
sebutan Jan Van Bali, Daniel Van Makassar, Alexander Van Makassar dan Lambert
van Bali, dan sebagainnya.
Dan tahun 1715, Cornelis memerdekankan
budaknya dengan membaptis kristiani ke dalam 12 Marga (Bacas, Isakh, Jonathans,
Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh).
Ini merupakan cita -cita Cornelis mengembangbiakan penduduk asli beragama Nasrani,
yang bisa hidup di tanah miliknya. Tanah milik Cornelis itu berubah menjadi
pusat pengembangan agama Kristen di Depok.
Tak lama Cornelis Chastelein meninggal,
tugas membimbing umat dilanjutkan puteranya, Anthony Chastelein. Sesuai surat
wasiat sang ayah, Anthony mendaftarkan tanah milik ayahnya di Depok, dengan
mengatasnamakan mantan budak sesuai yang tertulis di surat wasiat. Namun, belum
selesai proses itu, Anthony, Februari 1715 meninggal dunia.
Sepeninggal Anthony, Anna Chastelein
de Haan, janda Anthony, menikah dengan Johan Francois de Witte van Schoten,
seorang anggota Raad van Justice, 1717. Sebagai ahli hukum, Johan Francois menafsirkan
para mantan budak Cornelis Chastelein beserta keturunannya, hanya mempunyai hak
menggunakan tanah secara bebas untuk selamanya.
Akhirnya, surat kemepilikan tanah Depok tercatat atas naman Johan
Francois de Witte van Schoten.
Perkembangan selanjutnya, hak guna
atas tanah Depok berlaku hingga 1850, dan Raad
van Indie mengumumkan secara resmi Tanah Depok atas nama Mantan Budak
Cornelis Chastelein.
Tahun 1871, Raad van
Administratie membentuk badan pengurus yang dikenal dengan Het
Gemeente Bestuur van Particuliere Land Depok (De
Banier, 1914). Pemerintahan Depok terbentuk yang dipimpin presiden. Presiden
ini dipilih setiap tiga tahun sekali, dari kelompok komunitas mantan budak. Yang
dikenal dengan sebutan Belanda Depok. Presiden ini bukan tuan tanah tetapi coordinator
pengurus (bestuur) dari Gemeente.
Tanah Partikelir yang dimiliki Cornelis
Chastelein mendapat pengakuan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pemerintahan
Batavia juga setuju, tanah yang dimilliki Cornelis itu untuk dikelola secara
otonom dengan menyelenggarakan pemerintahan sipil secara khusus (gemeente bestuur).
Meski pada masa Cornelis, belum
sempat dibentuk, Gemeente bestuur baru bisa diusahakan tahun 1872 oleh pewaris
Cornelis Chastelein, para pekerjanya yang telah dimerdekakan guna membentuk
tatanan awal pemerintahan sipil di Depok dalam organisasi bercorak republik. Gedung
Gemeente Bestuur (sekarang rumah sakit Harapan Depok) sebagai pusat pemerintahan
kotapraja, yang berada Jalan Pemuda.
Mantan budak dan keluarganya tumbuh
menjadi komunitas di Depok dengan identitas memiliki tanah dan beragama Kristen. Ini membedakan
dengan warga sekitar tempat tinggal mereka, keberadaannya secara yuridis formal,
pemilik tanah, meskipun dalam hal ini mereka menguasai dan mengaturnya secara
kolektif.
Meski mendapat pengakuan, tanah
partikelir dan berhak membuat gemeente, warga land Depok juga tidak mendapat
keistimwaan dari pemerintah. Pemerintah mengukur kontribusi warga untuk membangun
jalan, jembatan, dan mengembangkan lahan pertanian. Prinsip itu yang dipegang
untuk memaksimalkan pemerintahan kala itu.
Tidak ada yang istimewa, ketenaran
Depok di mata pemerintahan Belanda, hanya sekelompok warga yang memegang teguh
dan melestarikan wasiat Cornelis Chastelein. Ketenaran land Depok memuncak
manakala Land Depok menjadi pusat Zendeling (pengutusan) (1871). Hal itu
membuat Belanda tidak bisa berbuat apa-apa. Depok menjadi pusat Zending penyebaran
agama Kristen melalui kabar keselamatan yang diberikan Allha kepada seluruh dunia.
Meski demikian, antara pemerintah Hindia
Belanda dengan Warga Gemeente Depok terjadi selisih pendapat. Saat pemerintah Hindia
Belanda menerapkan pajak untuk land Depok, Warga Gemeente Depok protes keras. Bahwa
Land Depok tidak ada kaitannya dengan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda,
tanah Partikelir.
Persoalan ini mengemuka Pemerintah
Hindia Belanda bersikeras dan menganggap warga gemeente Depok sebatas penyewa
lahan. Sedangkan warga Gemente berpegang, sejak tahun 1741, land Depok warisan
Cornelis Chastelein. Tahun 1933, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan pajak
(Staatsblad 352), dan bertindak tegas terhadap warga yang tidak memenuhi
kewajiban membayar pajak bakan dikenakan denda.
Begitu penyewa land depok tidak
membayar pajak, kasusnya di bawa ke pengadilan dan memutuskan warga penyewa itu
harus membayar pajak. Selain membayar pajak, penyewa itu juga dibebankan biaya
persidangan. Ini merupakan shok terapi bagi warga Gemente Depok agar tidak
main-main dengan kewajiban pajak.
Mulai saat itu pemerintah bersama
peminpin local menggerakan warganya berpartisipasi membayar pajak, membangun
jalan, jembatan, irigasi. Dari situ pemanfaatan semua fasiliats itu
dioptimalkan untuk semua.
Sensus penduduk, Tahun 1930, di Depok terdapat dua distrik Timur dan Barat sungai Tjiliwung. Timur berada di Distrik
Tjibinong yang terdiri dari Tapos, Tjilangkap, dan Tjilodong dan kemandoran Tjimanggis
dan Tjilodong.
Sedangkan disisi barat berada di distrik
Paroeng terdapat 29 desa Tjinangka, Tjinere, Tjipajoeng, Tjitajam, Tjoeroeg,
Bedji, Bodjonggede, Grogol, Kalisoeren, Kedoengringin, Kemiri Moeka, Koekoesan,
Limo, Mampang Ilir, Mampang Oedik, Nangerang, Paboearan, Pangkalan Djati,
Paroengblingbing, Pasir Poetih, Pitara, Ratoe Djaja, Rawadenok, Saroea, Sasak
Pandjang, Sawangan, Tadjoerhalang dan Tanahbaroe. Gemeente Depok bagian dari
desa Paroengblimbing.
Catatan, setelah Indonesia merdeka,
tepatnya tahun 1950, status tanah partikelir di bubarkan oleh pemerintah
Indonesia, termasuk gemeente Depok. Pemerintah Indonesia menyerahkan sebagian
tanah partikelir yang dianggap sebagai Kommunal bezit dan Eigendom, atau milik
bersama, masyarakat Depok. Termasuk di dalamnya tanah yang dimiliki secara
pribadi ke-12 marga warga Depok.
Tanah
Pardikan
Sedangkan tanah pardikan adalah Land
Tjinere yang kemudian menjadi bagian dari Depok. Land Tjinere adalah tanah hadiah yang diberikan pemerintah Hindia Belanda kepada Sersan Majoor St. Martin,
atas prestasinya menumpas pemberontakan Kapitein Jonker di Batam, 1689. Prestasinya St. Martin mendapat hadiah Land
Tjinere yang melingkupi Pangkalan Djati, Tjinere, Tanah Baroe, Krokot dan
Maroejoeng. St. Martin juga memiliki Land Tjitajam. Land Tjinere perannya
semakin diperhitungan karena industry perkebunannya. Lima Tahun, kemudian, St. Martin meninggal dunia.
Entah
bagaimana ceriatanya, land Tjinere berpindah ke Raden Adipati Aria Soeria di
Redja, mantan Regent van Chirebon dan sudah lama tinggal di Land Tjinere. Tahun 1886 Raden Adipati memiliki hutang kepada
Said Alie bin Hassan Alatas. Untuk menutupi hutang, land Tjinere di sita dan di
lelang. Tahun 1899, oleh J.Schoutendorp, Land Tjinere dijual.
Sebelumnya, Cinere terdiri dari
beberapa dusun yang dihuni warga Betawi, terlihat masih banyak hutan karet,
lahan persawahan, dan rawa-rawa. Namun kini, Cinere lebih dikenal di banding
depok. Seiring perjalanan waktu, 1979 wilayah cinere banyak dibeli pengembang
dan dijadikan perumahan, menengah keatas. Membuat daerah itu banyak dihuni dan
berkembang menjadi kota mandiri.
Depok
tahun 1981 sudah ditetapkan sebagai Kota Administratif (Kotif) Depok, yang
terdiri dari kecamatan Pancoranmas, Beji dan Sukmajaya. Tahun 1999 Depok
meningkat menjadi Kota Depok, dengan memasukan Kecamatan Cimanggis, Sawangan,
dan Limo.
Meski demikian, nama Cinere lebih
dikenal dibanding Limo. Tahun 2007, Cinere terbentuk menjadi kecamatan hasil
pemekaran dari Kecamatan Limo. Kecamatan Cinere membawahi empat kelurahan Cinere,
Gandul, Pangkalan Jati Lama dan Pangkalan Jati Baru.
Ini kisah cerita, wilayah Depok berasal
dari Tanah Partikelir dan Tana Pardikan. (Salam
Solidaritas/Berbagai Sumber)